Dunia telah
mengenal Indonesia sebagai negara agraris. Bukan hanya karena sebagian besar
penduduk pribumi Indonesia bekerja sebagai petani, tetapi sejak tahun 1984 kita
diberi anugrah oleh Yang Maha Kuasa dan merupakan hasil kerja keras dari petani-petani Indonesia. Dengan
berhasil Swasembada pangan dengan angka 25,8 juta ton. Tepat pada tanggal 14
November 1985 Presiden Soeharto menerima penghargaan dari Badan Pangan dan
Pertanian dunia (FAO), berupa medali emas dan berhak berbicara di hadapan 165
negara yang hadir dalam konferensi di Roma (Italia) waktu itu.
Suatu
kebanggaan dan capaian luar biasa dalam sektor
petanian. Namun itulah
dulu, kadang memang manusia cenderung merindukan masa lalunya. Berbeda dengan
kini. Sektor pertanian yang terdiri dari beberapa sub sektor yakni padi,
palawija, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan dalam perjalanannya akhir-akhir ini
terseok-seok. Mengapa saya katakan terseok-seok? Data dari BPS mengemukakan
aksi impor pangan dari tahun 2003-2013 kemarin melonjak empat kali lipat. Dari
jumlah impor tahun 2003 sebesar USD 3,34 miliar menjadi USD 4,19 miliar. Jumlah
keluarga tani terus berkurang, sampai tahun 2013 keluarga tani tercatat
berjumlah 26,13 juta, berkurang 5,04 juta dari 31,17 juta keluarga di tahun
2003. Artinya selama tiap tahun rata-rata terjadi penyusutan sebesar 500.00
kelurga tani, termasuk juga keluarga peternak. Dan akhir tahun 2014 kemarin
lagi-lagi beras, daging, kedelai, gula, jagung menjadi lagu wajib, impor.
Capaian makro pertanian pun terus menurun, penyerapan tenaga kerja menurun
0,78% dari tahun sebelumnya, juga tak absen nilai tukar petani pun turun 2,18%
di banding tahun 2013.
Berbicara pangan, Salah satu sektor yang sangat berpengaruh dalam
kebutuhan akan protein ialah sektor peternakan. Dari data BPS, Sub sektor peternakan sendiri di
tahun 2014 kemarin menyumbang sekitar 590.000
ton untuk kebutuhan daging
dalam negeri, dengan
konsumsi daging rakyat Indonesia 2,36 kg/kapita/tahun. Diprediksi tahun depan meningkat 8,5% atau sekitar 640.000 ton. Juga
susu yang selama sepuluh tahun terakhir kebutuhan dalam negeri, 60%nya dari
impor.
Direktur Eksekutif Apfindo, Joni
Liano mengatakan realisasi kebutuhan dalam negeri tahun 2014 telah mengeksekusi
3,1 juta populasi sapi. Namun belum semua sapi yang diperoleh, dari produksi lokal. Ada 2,3 juta sapi di tahun 2014
ini berasal dari produksi dalam negeri, dan sisanya ditutupi dengan Impor.
Tentu kita juga mengingat “Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau dan
Peningkatan Penyediaan Pangan Hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal” (PSDSK) yang berlangsung di tahun 2014 ini.
Dengan Outcome yang diharapkan;
Meningkatnya ketersediaan pangan hewani (daging, telur, susu), meningkatnya
kontribusi dari ternak lokal dalam penyediaan pangan hewani tersebut, meningkatnya ketersediaan
protein hewani asal ternak, dan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan
peternak.
Namun dipahami bersama program ini
hanya tinggal kenangan, kenangan yang berlalu, seperti berlalunya manusia tak
berilmu. Tiga kali berturut-turut 2001-2005, 2008-2010, hingga 2010-2014
terbukti tak berbuah hasil. Ujung-ujungnya buka keran Impor untuk mencukupi
kebutuhan domestik.
Walaupun lima tahun terakhir Impor Indonesia berkurang, hal tersebut sudah
menjadi kegandrungan, maka untuk memenuhi kuota awal tahun 2015 ini pemerintah
siap menerbitkan izin impor sapi sebanyak 246.000 ekor dari Australia.
Sebab-sebab kegagalan swasembada daging sapi
nasional harus lebih dilihat
dalam kaca mata konstruksi kebijakan pemerintah secara luas, yang berarti
terkait dengan tata kelola sektor pertanian/peternakan dalam skema pembangunan nasional.
Pertama, Secara
sederhana kita bisa melihat perbandingan alokasi anggaran untuk sektor pertanian. Pembentukan modal di
sektor pertanian dari
tahun ke tahun mengalami fluktuasi dan cenderung tak sesuai kebutuhan. Hal
tersebut berdampak pada beberapa sektor yang menaunginya. Termasuk sektor peternakan, tercatat alokasi
APBN untuk sektor pertanian.
Di tahun 2010 Rp 8,0 triliun, 2011 Rp 16,0 triliun, 2012 Rp 18,2 triliun, 2013
Rp 17,8 triliun, 2014 Rp 15,5 triliun. Sedangkan untuk belanja birokrasi dan pembelian senjata masing-masing
32 triliun dan 90 triliun. Alokasi anggaran yang seperti itu sama halnya kita
mengharapkan rendahnya output produksi, derasnya impor, alih fungsi lahan, berkurangnya profesi
petani/peternak, dan terpenting
mengundang investasi swasta, nasional maupun asing untuk membantu menggairahkan
sektor pertanian maupun
peternakan.
Kedua, sempitnya
lahan dan terjadinya alih fungsi lahan (konversi lahan) untuk pembangunan
Infrastruktur, industri dan
perumahan. Dengan mengeluarkan PP No 39 tahun 2014 tentang bidang Usaha terbuka
dan tertutup dengan syarat penanaman modal, dalam rangka AEC (Asean Economic Community), pemerintah
pun yang mempeloporinya. Praktis hal tersebut membuat investor menguasai
sebagian besar lahan petani/peternak dan menggeser usaha kecil mereka. Berdasar
data BPS perusahaan pangan telah mencapai 5.486 di tahun 2013, yang mana pada
tahun 2003 masih berjumlah 4.011 perusahaan. Imbasnya Selama sepuluh tahun
terakhir jumlah profesi petani/peternak berkurang hingga mencapai angka 5,04
juta keluarga.
Maka pertanyaannya, apakah dengan
berkurangnya petani/peternak dan bertambahnya perusahaan pangan, dapat
menggairahkan produksi domestik dan memberikan kontribusi besar bagi ketahanan pangan nasional?,
Khususnya kebutuhan akan protein hewani (daging dan susu). Sesungguhnya fakta
diatas telah menjawab itu.
Ketiga, Ikut
andilnya pemerintah dalam kesepakatan GATT (General
Agreement on Traffis and TradeI) yang dilaksanakan berdasarkan skema WTO (World Trade Organization) terbukti
menimbulkan kontraversial di kalangan petani/peternak. Karena perjanjian
tersebut semakin membuka peluang daging-daging impor untuk menginvasi produksi
peternak lokal. UU No
18 tahun 2009 pasal 44 ayat 3, pasal 59 ayat 2, 4 dan pasal 68 ayat 4 yang jadi
pelaku dan kini telah direvisi. Poin diatas seolah menampar kita agar
menyelesaikan masalah seputar sistem tatakelola sektor pertanian nasional, bukan terlalu fokus pada teknis pemeliharaan sapi
atau teknologi.
Maka, stimulus sektor pertanian/peternakan (artinya
subsidi gila-gilaan) sangat
dibutuhkan agar mampu menggenjot produksi domestik dan bersaing di AEC 2015 ini. Pemerintah harus
memiliki strategi jitu untuk menambah jumlah profesi, pembukaan lahan ternak
(pakan), mampu bersaing dengan produk luar negeri, dan dapat mengekspor
komoditi peternakan yang memiliki nilai tambah (bukan hanya bahan mentah).
Untuk itu dibutuhkan perubahan struktural secara mendasar terkait sistem tatakelola sektor pertanian/peternakan dari
hulu-hilir (dari produksi hingga distribusi dan penentuan harga), termasuk pemberian bibit sapi,
subsidi pakan, pembukaan lahan pakan, dll. Dari sisi pasar mengurangi kuota
impor, penetapan harga yang proporsi agar tak merugikan peternak kecil
(mandiri), memberi batas yang jelas tentang barang dan jasa apa yang patut dan
tidaknya untuk dikomersialisasi. Hingga akhirnya cita-cita membangun pangan
yang mandiri terwujud, dan termanifestasi dalam swasembada pangan masa akan
datang.
Penulis,
|Busrah Hisam Ardans|
Jurusan Ilmu Peternakan 2011
Sedikit input:
BalasHapus1. Konten menarik tapi kurang ilustrasi
2. Ada beberapa typo dan diksinya kurang tepat seharusnya direview dulu sebelum dipublished,missal kontraversial seharusnya kontroversi
3. Sumber berita ada yang hilang misal “Direktur Eksekutif Apfindo, Joni Liano mengatakan realisasi kebutuhan dalam negeri tahun 2014 telah mengeksekusi 3,1 juta populasi sapi. Namun belum semua sapi yang diperoleh, dari produksi lokal. Ada 2,3 juta sapi di tahun 2014 ini berasal dari produksi dalam negeri, dan sisanya ditutupi dengan Impor.” Dikutip dari???????
4. Solusi yang diberikan cenderung generic minim unsur novelty
• termasuk pemberian bibit sapi, kebijakan ini sudah ada sejak tahun 2009 http://ews.kemendag.go.id/kebijakan/PolicyDetail.aspx?v_kebijakan=227
• subsidi pakan, sudah dari tahun 2013 http://berita2bahasa.com/berita/08/09061204-direktorat-jenderal-peternakan-uji-coba-subsidi-pakan-bagi-peternak
• solusi yang lain masih generic jg silah googling