Keputusan Presiden RI No. 169/1963 tertanggal 26 Agustus
1963 menetapkan Hari Tani Indonesia jatuh pada tanggal 24 September. Penetapan
Hari Tani tersebut tidak lain karena kepentingan untuk memajukan kesejahteraan
rakyat pedesaan yang esensi utamanya adalah diundangkannya UUPA (Undang-undang
Pokok Agraria). Ditetapkannnya tanggal 24 September sebagai Hari Tani Indonesia
oleh Presiden waktu itu, dengan semangat revolusionernya menyebutkan bahwa
tanggal 24 September sebagai hari lahirnya UUPA dan merupakan kemenangan Rakyat
Tani Indonesia. Diletakkannya dasar-dasar penyelenggaraan land reform untuk
mengikis habis sisa-sisa imprealisme dalam lapangan pertanahan dan membebasakan
rakyat tani dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan
beralatkan tanah sehingga dapat melapangkan jalan menuju ke arah masyarakat
adil dan makmur.
Pada mulanya konsep dasar pengembangan masyarakat dan
pedesaan sesungguhnya merupakan konsep pembangunan yang sangat lama yang
diadopsi setelah beberapa tahun merdeka. Lalu menyusul pencanangan program
tersebut sebagai the global development program oleh PBB dalam mencari format
pembangunan negara-negara yang lahir pasca perang dunia kedua. Hal ini
dilakukan oleh PBB guna mengatasi keterbelakangan yang muncul akibat dari
kolonialisme, imprealisme, dan perang dunia yang berkepanjangan.
Atas dasar keyakinan yang kuat dan melihat betapa pentingnya
pedesaan sebagai sumber pangan, gerak langkah keagrariaan telah muncul sejak
masa awal kemerdekaan ditandai dengan dibentuknya Panitia Agraria
Jogjakarta-Panitia Agraria Djakarta-Rumusan rancangan Soenarjo dan
disempurnakan dan disahkan sebagai UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No. 5
tahun 1960. Itulah dasar ditetapkannya Hari Tani dengan semangat memperjuangkan
Hak-hak petani rakyat.
Pembangunan pertanian dalam lima tahun ke depan sebagai visi
dan misi presiden, berlandaskan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) ketiga (2015-2019) dimana, “Terwujudnya Indonesia yang
Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”, termasuk
sektor pertanian yang meliputi beberapa sub sektor yakni Sub Sektor Tanaman
Pangan, Sub Sektor Perkebunan, Sub Sektor Kehutanan, Sub Sektor Perikanan, dan
Sub Sektor Peternakan.
Peternakan dalam hal ini meliputi komponen produksi termasuk
ayam pedaging, sapi perah, ayam petelur, sapi potong, kerbau, itik, domba,
kambing, dan ayam buras, memiliki prospek yang baik dan mampu menambah income
perkapita petani/peternak. Seperti success story sektor pertanian terhadap
beras yang mencapai swasembada tahun 1985, kelapa sawit selama 20-30 tahun
terakhir Indonesia menjadi yang pertama di dunia, begitupun dengan swasembada
daging ayam yang diraih 20 tahun lebih. Potensi peternakan semakin terlihat,
berdasarkan data tahun 2010-2014 dimana Kementan merilis produksi hasil
peternakan berupa daging, telur, dan susu mengalami pertumbuhan yang berarti.
Masing-masing 5,98 dan 7,08 persen/tahun, dimana produksi daging mencapai 2,98
juta ditahun 2014 dengan kontribusi daging sapi tercatat 19,2 persen terhadap
produksi daging nasional.
Berbicara tentang daging sapi tidak lepas dari program
swasemabada daging sapi yang dicanangkan sejak 2005. Namun, hingga kini belum
menemui kata berhasil. Tahun 2010 menjadi sejarah pelik. Saat itu program penurunan
kuota impor sebesar 10 persen yang diharapkan, malah memberi kontribusi impor
terbesar sebanyak 120 ribu daging beku dan 765 ribu ekor sapi bahkan Menpan era
SBY, Suswono berkata swasembada kita gagal karena salah hitung. Awal bulan
Agustus lalu menjadi kado buruk bagi Indonesia, empat hari pada bulan itu 8-11
Agustus pedagang di daerah Jawa memutuskan tidak menjual daging sapi dengan
kata lain mereka meliburkan diri. Tentu kabar yang tidak mengenakan bagi negara
yang sudah mencapai usia 70 tahun, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan daging
nasional.
Waktu itu RPH (Penjagal) tidak melakukan pemotongan karena
harga timbang hidup sapi yang mereka dapatkan dari feedloter sebagai salah satu
pihak pengadaan, menetapkan harga yang kian meninggi dalam sepekan harga
timbang hidup tersebut mencapai angka Rp4000 sedangkan untuk karkas menjadi
Rp8000. Kenaikan harga timbul dari rasa kekecewaan para importir terhadap
pemerintah yang menurunkan kuota impor dan menetapkan tahun ini sebesar 400
ribu ekor sapi impor sedangkan kebutuhan dalam negeri mencapai 750 ribu ekor
sapi. Sementara konsumsi daerah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten mencapai 70
persen mau tidak mau pemerintah tetap akan membuka keran impor untuk pemenuhan
daging sapi. Ketergantungan terhadap impor ini menandakan Indonesia belum
berdaulat dalam menunjang ketahanan pangan asal daging sapi.
Pekerjaan rumah pemerintahan kini belum usai,
petani/peternak sebagai aktor utama penghasil daging sapi lokal semakin hari
semakin mengalami penyusutan profesi. Kepala BPS, Suryamin menuturkan, jumlah
rumah tangga dengan usaha pertanian terus menurun akibat beberapa hal
diantaranya alih profesi dan semakin sempitnya lahan pertanian karena alih
fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan pabrik, dan perumahan.
Adanya penyusutan jumlah petani yang sangat signifikan sebesar 16,23 % dalam
satu dasawarsa, yakni 5,09 juta keluarga. Artinya setiap tahun terdapat
penyusutan jumlah petani rata-rata sebesar 509 ribu keluarga yang pada
kenyataannya sejak tahun 2003 jumlah rumah tangga petani yang bergerak disemua
komoditas baik tanaman pangan, hotikultura, perkebunan, peternakan, dan
perikanan berjumlah 31,23 juta berkurang secara signifikan menjadi 26,14 juta
rumah tangga petani. Secara nasional,
populasi sapi kini berjumlah 12,5 juta dengan jumlah peternak lima juta orang.
Jika diestimasikan masing-masing peternak memiliki 2-4 ekor sapi. Dalam artian
angka 12 juta tersebut, pemerintah harus bisa melakukan antisipasi terhadap
pemotongan ternak yang berlebihan karena menyangkut modal pemerintah
membudidayakan peternakan rakyat dalam mencapai swasembada. Apalagi diketahui
dalam penelitiaan yang dilakukan oleh Universitas Padjajaran di 20 RPH dengan
sampel 10.000 lebih ekor sapi, (di daerah produsen ternak hingga ke konsumen,
Jawa, Bali, NTB, NTT) menemukan pemotongan betina produktif mencapai 30 persen,
bahkan di NTT tercatat hampir 80 persen.
Cita-cita swasembada daging sapi membutuhkan penantian
panjang 20-30 tahun mendatang. Tidak hanya soal penantian, bisa jadi hanya
retorika politik dan noktah hitam pemerintahan. Jadi, berbagai insentif
pemerintah terhadap peternakan rakyat harus terus berjalan. Dua belas juta ekor
sapi menjadi modal, gap yang timbul antara industri peternakan yang padat
modal, teknologi, dan terpadu dengan peternakan rakyat harus diisi. Skala
peternakan rakyat dan industri dalam kaca mata ekonomi harus jelas size dari
keduanya. Peternakan rakyat harus tetap menjadi tulang punggung diberikan
subsidi atau perangsang seperti penyediaan kredit dan sebagainya serta
memaksimalisasi kinerjanya.
Pemotongan betina produktif, ketimpangan dengan
industri peternakan, menyusutnya profesi petani/peternak, sungguh sebagai
cambukan untuk kita berbenah sebab ini menyangkut lima juta peternak. Jika
sekarang kita masih mengonsumsi daging sapi itu karena peternak rakyat. Tanggal
24 September kemarin adalah Hari Tani Nasional sekaligus sebagai Hari Idul Adha
(Kurban) yang masing-masing esensinya adalah perjuangan dan pengorbanan. Bila
sejarah membuktikan bahwa pengorbanan Nabi Ibrahim beserta keluarganya
sangatlah besar dalam mengahadapi ujian, begitupun dengan para petani/peternak.
Walau berbeda kisah, mereka bisa dikatakan telah berjuang dan rela berkorban
memberi makan 252.164.8 juta penduduk Indonesia. Maka sepantasnyalah momen ini
menjadi kebangkitan para petani/peternak dalam mewujudkan swasembada daging
sapi dan membawa Indonesia berdaulat atas pangan.
Busrah Hisam Ardans_Mahasiswa Fakultas Peternakan_Unhas_2011