Jumat, 11 Desember 2015

Beras surplus, Mengapa Impor?

Kementrian Pertanian RI pada tahun berjalan 2015 ini telah menerbitkan laporan impor komoditas. Salah satunya ialah komoditas beras. Pada periode Januari-September 2015, Kementan telah mencatat sekiranya ada sepuluh negara yang sudah melakukan ekspor beras ke Indonesia, diantaranya China, Thailand, Jepang, Malaysia, Philipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, India, dan Pakistan yang terdiri atas beberapa peruntukkan. Dengan estimasi Januari-September, beras yang diimpor sudah mencapai volume 224 milyar (Kg) dengan nilai 105 juta US Dolar. Vietnam dan Thailand menjadi negara yang melakukan ekspor ke Indonesia dengan jumlah cukup besar.

Awal November kemarin pemerintah telah mencanangkan untuk kembali melakukan impor dengan jumlah 1,5 juta ton beras dari negara asal Vietnam. Pertanggal 12 November jumlah beras impor yang telah masuk mencapai 27 ribu ton. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan impor beras dilakukan untuk memberikan kecukupan kebutuhan beras nasional akibat dari faktor cuaca (el nino) yang menggangu produksi beras. Sehingga menurutnya tidak jadi masalah, demi kecukupan beras rakyat. Walaupun belum sepenuhnya diketahui apakah terjadi defisit, selain data BPS yang menurutnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Tetapi kemudian pandangan tersebut berlawanan dengan beberapa sumber data yang terbilang pada tahun 2015 ini Indonesia mengalami surplus produksi beras nasional. Seperti yang disampaikan Kementrian Pertanian oleh Mentan Amran Sulaiman bahwa tahun 2015, terjadi surplus beras yang menempati angka sepuluh juta ton. Hal tersebut dikemukakan berdasar pada perhitungan angka ramalan (ARAM) 1 dan ARAM 2 BPS yang mana tidak jauh berbeda, bahwa produksi beras mencapai 75.551 juta ton GKG (Gabah Kering Giling) atau setara dengan 43.940 juta ton beras, meningkat 4.704 juta ton (6,64 persen) dari produksi tahun lalu sejumlah 70.846 juta ton GKG.

Surplus tersebut tidak juga terlepas dari perhitungan total konsumsi beras masyarakat Indonesia yang berkisar 31 juta ton beras dengan rata-rata konsumsi 114/kg. Disamping faktor alam, fakta di lapangan memang menunjukkan adanya el nino  dengan angka indeks 1,8 derajat celcius dan termasuk dalam kategori moderat yang menyebabkan sawah-sawah tadah hujan tidak bisa ditanami, tetapi sawah-sawah irigasi memperoleh panen yang baik dan berdasarkan pengamatan dari Serikat Petani Indonesia (SPI) bulan Desember hingga Februari mendatang tren panen petani menjadi baik serta harga beras yang belum menunjukkan ‘lonjakan’ yang begitu berarti. Data inilah secara langsung mempertegas sikap Presiden Joko Widodo untuk tidak melakukan Impor beras, beberapa waktu lalu.

Namun fakta yang terjadi berbeda. Sikap yang diambil diantara para eksekutif menunjukkan tidak adanya transparansi dan konektivitas yang baik. Hal serupa sebelumnya juga terjadi pada akhir tahun 2013. Keputusan Kementrian Perdagangan akan melakukan impor, berbeda dengan Kementrian Pertanian yang memutuskan untuk tidak impor yang akhirnya tidak terjadi impor. Bahkan impor beras asal Vietnam November ini terindikasi ilegal berdasarkan UU Pangan pasal 38 “perihal penentuan impor dan tidaknya oleh Kementrian Pertanian yang langsung di bawah mandat Presiden RI”.

Dalam dinamika perkembangannya kebijakan impor beras sejak tahun 2008 hingga kini, dalam data BPS dan Kementrian Pertanian selalu mengatakan Indonesia dalam keadaan surplus. Dengan menggunakan estimasi data yang sama-sama fragile, tahun 2014 surplus 8,8 juta ton, 2013 9,5 juta dan seterusnya ke belakang. Dari beberapa tahun hingga tahun ini menunjukkan adanya surplus produksi.  Lha… kalau surplus mengapa impor? Sehingga jika itu benar-benar ada, bisa digunakan Bulog sebagai stok pada tahun berjalan (carry-over stock) yang sungguh besar. Namun, apalah daya overestimate yang sulit diverifikasi. Dengan alasan menjaga pasokan dalam  negeri dan tingkat akurasi data yang masih diragukan, Bulog mengajukan Impor beras hingga kini.

Tentu ada yang keliru. Dampak dari buruknya akurasi data pastinya merambah kepada kredibilitas kebijakan, tak hanya itu, petani dan masyarakat secara umum akan merasakannya. Maka sebagai perwujudan sektor pertanian sebagai salah satu pilar pembangunan nasional, sangat penting untuk kalibrasi dan rekalibrasi data produksi dan konsumsi serta menjaga tingkat akurasinya. Asimetri tentang informasi harga gabah petani yang masih relatif “murah” sebesar Rp4.100/kg walau lebih mahal dari harga referensi pemerintah sebesar Rp3.700/kg, sementara harga beras premium tertanggal 25 September kemarin menunjukkan tingkat harga yang cukup mahal dibanding dengan harga beras internasional seperti beras asal Thailand dan Vietnam, dengan kualitas yang sama. Asimetri harga ini perlu mendapat perhatian Bulog untuk turun hingga ke ‘pematang sawah’ dalam pengadaan gabah petani, jangan kalah sama para tengkulak. Sehingga stabilitas harga tercipta.

Kebijakan impor tahun ini membuktikan sikap inkonsistensi dan pertaruhan kredibilitas pemerintahan walaupun anggaran Kementan ditambah dua kali lipat tahun 2015, (Rp32,7 T) dengan rancangan pembangunan infrastruktur; irigasi tersier, pembantuan benih pupuk, membuka lahan baru dan agenda revitalisasi lainnya. Dan perlu dipahami bahwa kebijakan impor merupakan kebijakan terakhir bukan sebagai rutinitas. Jikalau semua itu sudah dilakukan dan masih saja impor berarti yang kita lawan adalah mafia, yang sesungguhnya tak terlepas dari diserahkannya pemenuhan kebutuhan pangan pada sistem pangan global atas orientasi keuntungan adalah ‘tuhan’.

Busrah Hisam Ardans

Sabtu, 03 Oktober 2015

Hari Tani, Hari Kurban, dan Cita-cita Swasembada Daging Sapi


Keputusan Presiden RI No. 169/1963 tertanggal 26 Agustus 1963 menetapkan Hari Tani Indonesia jatuh pada tanggal 24 September. Penetapan Hari Tani tersebut tidak lain karena kepentingan untuk memajukan kesejahteraan rakyat pedesaan yang esensi utamanya adalah diundangkannya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria). Ditetapkannnya tanggal 24 September sebagai Hari Tani Indonesia oleh Presiden waktu itu, dengan semangat revolusionernya menyebutkan bahwa tanggal 24 September sebagai hari lahirnya UUPA dan merupakan kemenangan Rakyat Tani Indonesia. Diletakkannya dasar-dasar penyelenggaraan land reform untuk mengikis habis sisa-sisa imprealisme dalam lapangan pertanahan dan membebasakan rakyat tani dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan beralatkan tanah sehingga dapat melapangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur.

Pada mulanya konsep dasar pengembangan masyarakat dan pedesaan sesungguhnya merupakan konsep pembangunan yang sangat lama yang diadopsi setelah beberapa tahun merdeka. Lalu menyusul pencanangan program tersebut sebagai the global development program oleh PBB dalam mencari format pembangunan negara-negara yang lahir pasca perang dunia kedua. Hal ini dilakukan oleh PBB guna mengatasi keterbelakangan yang muncul akibat dari kolonialisme, imprealisme, dan perang dunia yang berkepanjangan.

Atas dasar keyakinan yang kuat dan melihat betapa pentingnya pedesaan sebagai sumber pangan, gerak langkah keagrariaan telah muncul sejak masa awal kemerdekaan ditandai dengan dibentuknya Panitia Agraria Jogjakarta-Panitia Agraria Djakarta-Rumusan rancangan Soenarjo dan disempurnakan dan disahkan sebagai UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No. 5 tahun 1960. Itulah dasar ditetapkannya Hari Tani dengan semangat memperjuangkan Hak-hak petani rakyat.

Pembangunan pertanian dalam lima tahun ke depan sebagai visi dan misi presiden, berlandaskan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ketiga (2015-2019) dimana, “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”, termasuk sektor pertanian yang meliputi beberapa sub sektor yakni Sub Sektor Tanaman Pangan, Sub Sektor Perkebunan, Sub Sektor Kehutanan, Sub Sektor Perikanan, dan Sub Sektor Peternakan.

Peternakan dalam hal ini meliputi komponen produksi termasuk ayam pedaging, sapi perah, ayam petelur, sapi potong, kerbau, itik, domba, kambing, dan ayam buras, memiliki prospek yang baik dan mampu menambah income perkapita petani/peternak. Seperti success story sektor pertanian terhadap beras yang mencapai swasembada tahun 1985, kelapa sawit selama 20-30 tahun terakhir Indonesia menjadi yang pertama di dunia, begitupun dengan swasembada daging ayam yang diraih 20 tahun lebih. Potensi peternakan semakin terlihat, berdasarkan data tahun 2010-2014 dimana Kementan merilis produksi hasil peternakan berupa daging, telur, dan susu mengalami pertumbuhan yang berarti. Masing-masing 5,98 dan 7,08 persen/tahun, dimana produksi daging mencapai 2,98 juta ditahun 2014 dengan kontribusi daging sapi tercatat 19,2 persen terhadap produksi daging nasional.

Berbicara tentang daging sapi tidak lepas dari program swasemabada daging sapi yang dicanangkan sejak 2005. Namun, hingga kini belum menemui kata berhasil. Tahun 2010 menjadi sejarah pelik. Saat itu program penurunan kuota impor sebesar 10 persen yang diharapkan, malah memberi kontribusi impor terbesar sebanyak 120 ribu daging beku dan 765 ribu ekor sapi bahkan Menpan era SBY, Suswono berkata swasembada kita gagal karena salah hitung. Awal bulan Agustus lalu menjadi kado buruk bagi Indonesia, empat hari pada bulan itu 8-11 Agustus pedagang di daerah Jawa memutuskan tidak menjual daging sapi dengan kata lain mereka meliburkan diri. Tentu kabar yang tidak mengenakan bagi negara yang sudah mencapai usia 70 tahun, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan daging nasional.

Waktu itu RPH (Penjagal) tidak melakukan pemotongan karena harga timbang hidup sapi yang mereka dapatkan dari feedloter sebagai salah satu pihak pengadaan, menetapkan harga yang kian meninggi dalam sepekan harga timbang hidup tersebut mencapai angka Rp4000 sedangkan untuk karkas menjadi Rp8000. Kenaikan harga timbul dari rasa kekecewaan para importir terhadap pemerintah yang menurunkan kuota impor dan menetapkan tahun ini sebesar 400 ribu ekor sapi impor sedangkan kebutuhan dalam negeri mencapai 750 ribu ekor sapi. Sementara konsumsi daerah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten mencapai 70 persen mau tidak mau pemerintah tetap akan membuka keran impor untuk pemenuhan daging sapi. Ketergantungan terhadap impor ini menandakan Indonesia belum berdaulat dalam menunjang ketahanan pangan asal daging sapi.

Pekerjaan rumah pemerintahan kini belum usai, petani/peternak sebagai aktor utama penghasil daging sapi lokal semakin hari semakin mengalami penyusutan profesi. Kepala BPS, Suryamin menuturkan, jumlah rumah tangga dengan usaha pertanian terus menurun akibat beberapa hal diantaranya alih profesi dan semakin sempitnya lahan pertanian karena alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan pabrik, dan perumahan. Adanya penyusutan jumlah petani yang sangat signifikan sebesar 16,23 % dalam satu dasawarsa, yakni 5,09 juta keluarga. Artinya setiap tahun terdapat penyusutan jumlah petani rata-rata sebesar 509 ribu keluarga yang pada kenyataannya sejak tahun 2003 jumlah rumah tangga petani yang bergerak disemua komoditas baik tanaman pangan, hotikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan berjumlah 31,23 juta berkurang secara signifikan menjadi 26,14 juta rumah tangga petani.  Secara nasional, populasi sapi kini berjumlah 12,5 juta dengan jumlah peternak lima juta orang. Jika diestimasikan masing-masing peternak memiliki 2-4 ekor sapi. Dalam artian angka 12 juta tersebut, pemerintah harus bisa melakukan antisipasi terhadap pemotongan ternak yang berlebihan karena menyangkut modal pemerintah membudidayakan peternakan rakyat dalam mencapai swasembada. Apalagi diketahui dalam penelitiaan yang dilakukan oleh Universitas Padjajaran di 20 RPH dengan sampel 10.000 lebih ekor sapi, (di daerah produsen ternak hingga ke konsumen, Jawa, Bali, NTB, NTT) menemukan pemotongan betina produktif mencapai 30 persen, bahkan di NTT tercatat hampir 80 persen.

Cita-cita swasembada daging sapi membutuhkan penantian panjang 20-30 tahun mendatang. Tidak hanya soal penantian, bisa jadi hanya retorika politik dan noktah hitam pemerintahan. Jadi, berbagai insentif pemerintah terhadap peternakan rakyat harus terus berjalan. Dua belas juta ekor sapi menjadi modal, gap yang timbul antara industri peternakan yang padat modal, teknologi, dan terpadu dengan peternakan rakyat harus diisi. Skala peternakan rakyat dan industri dalam kaca mata ekonomi harus jelas size dari keduanya. Peternakan rakyat harus tetap menjadi tulang punggung diberikan subsidi atau perangsang seperti penyediaan kredit dan sebagainya serta memaksimalisasi kinerjanya. 
Pemotongan betina produktif, ketimpangan dengan industri peternakan, menyusutnya profesi petani/peternak, sungguh sebagai cambukan untuk kita berbenah sebab ini menyangkut lima juta peternak. Jika sekarang kita masih mengonsumsi daging sapi itu karena peternak rakyat. Tanggal 24 September kemarin adalah Hari Tani Nasional sekaligus sebagai Hari Idul Adha (Kurban) yang masing-masing esensinya adalah perjuangan dan pengorbanan. Bila sejarah membuktikan bahwa pengorbanan Nabi Ibrahim beserta keluarganya sangatlah besar dalam mengahadapi ujian, begitupun dengan para petani/peternak. Walau berbeda kisah, mereka bisa dikatakan telah berjuang dan rela berkorban memberi makan 252.164.8 juta penduduk Indonesia. Maka sepantasnyalah momen ini menjadi kebangkitan para petani/peternak dalam mewujudkan swasembada daging sapi dan membawa Indonesia berdaulat atas pangan.


Busrah Hisam Ardans_Mahasiswa Fakultas Peternakan_Unhas_2011
 

Rabu, 28 Januari 2015

Kisruh dan Cita-Cita Swasembada Pangan (Hewani)

by Busrah_KOPIPAGI


Dunia telah mengenal Indonesia sebagai negara agraris. Bukan hanya karena sebagian besar penduduk pribumi Indonesia bekerja sebagai petani, tetapi sejak tahun 1984 kita diberi anugrah oleh Yang Maha Kuasa dan merupakan hasil kerja keras dari petani-petani Indonesia. Dengan berhasil Swasembada pangan dengan angka 25,8 juta ton. Tepat pada tanggal 14 November 1985 Presiden Soeharto menerima penghargaan dari Badan Pangan dan Pertanian dunia (FAO), berupa medali emas dan berhak berbicara di hadapan 165 negara yang hadir dalam konferensi di Roma (Italia) waktu itu.
Suatu kebanggaan dan capaian luar biasa dalam sektor petanian. Namun itulah dulu, kadang memang manusia cenderung merindukan masa lalunya. Berbeda dengan kini. Sektor pertanian yang terdiri dari beberapa sub sektor yakni padi, palawija, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan dalam perjalanannya akhir-akhir ini terseok-seok. Mengapa saya katakan terseok-seok? Data dari BPS mengemukakan aksi impor pangan dari tahun 2003-2013 kemarin melonjak empat kali lipat. Dari jumlah impor tahun 2003 sebesar USD 3,34 miliar menjadi USD 4,19 miliar. Jumlah keluarga tani terus berkurang, sampai tahun 2013 keluarga tani tercatat berjumlah 26,13 juta, berkurang 5,04 juta dari 31,17 juta keluarga di tahun 2003. Artinya selama tiap tahun rata-rata terjadi penyusutan sebesar 500.00 kelurga tani, termasuk juga keluarga peternak. Dan akhir tahun 2014 kemarin lagi-lagi beras, daging, kedelai, gula, jagung menjadi lagu wajib, impor. Capaian makro pertanian pun terus menurun, penyerapan tenaga kerja menurun 0,78% dari tahun sebelumnya, juga tak absen nilai tukar petani pun turun 2,18% di banding tahun 2013.
Berbicara pangan, Salah satu sektor yang sangat berpengaruh dalam kebutuhan akan protein ialah sektor peternakan. Dari data BPS, Sub sektor peternakan sendiri di tahun 2014 kemarin menyumbang sekitar 590.000 ton untuk kebutuhan daging dalam negeri, dengan konsumsi daging rakyat Indonesia 2,36 kg/kapita/tahun. Diprediksi tahun depan meningkat 8,5% atau sekitar 640.000 ton. Juga susu yang selama sepuluh tahun terakhir kebutuhan dalam negeri, 60%nya dari impor.
Direktur Eksekutif Apfindo, Joni Liano mengatakan realisasi kebutuhan dalam negeri tahun 2014 telah mengeksekusi 3,1 juta populasi sapi. Namun belum semua sapi yang diperoleh, dari produksi lokal. Ada 2,3 juta sapi di tahun 2014 ini berasal dari produksi dalam negeri, dan sisanya ditutupi dengan Impor.
Tentu kita juga mengingat  “Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau dan Peningkatan Penyediaan Pangan Hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal”  (PSDSK) yang berlangsung di tahun 2014 ini. Dengan Outcome yang diharapkan; Meningkatnya ketersediaan pangan hewani (daging, telur, susu), meningkatnya kontribusi dari ternak lokal dalam penyediaan pangan hewani tersebut, meningkatnya ketersediaan protein hewani asal ternak, dan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak.    
Namun dipahami bersama program ini hanya tinggal kenangan, kenangan yang berlalu, seperti berlalunya manusia tak berilmu. Tiga kali berturut-turut 2001-2005, 2008-2010, hingga 2010-2014 terbukti tak berbuah hasil. Ujung-ujungnya buka keran Impor untuk mencukupi kebutuhan domestik. Walaupun lima tahun terakhir Impor Indonesia berkurang, hal tersebut sudah menjadi kegandrungan, maka untuk memenuhi kuota awal tahun 2015 ini pemerintah siap menerbitkan izin impor sapi sebanyak 246.000 ekor dari Australia.
 Sebab-sebab kegagalan swasembada daging sapi nasional harus lebih dilihat dalam kaca mata konstruksi kebijakan pemerintah secara luas, yang berarti terkait dengan tata kelola sektor pertanian/peternakan dalam skema pembangunan nasional.
Pertama, Secara sederhana kita bisa melihat perbandingan alokasi anggaran untuk sektor pertanian. Pembentukan modal di sektor pertanian dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi dan cenderung tak sesuai kebutuhan. Hal tersebut berdampak pada beberapa sektor yang menaunginya. Termasuk sektor peternakan, tercatat alokasi APBN untuk sektor pertanian. Di tahun 2010 Rp 8,0 triliun, 2011 Rp 16,0 triliun, 2012 Rp 18,2 triliun, 2013 Rp 17,8 triliun, 2014 Rp 15,5 triliun. Sedangkan untuk belanja birokrasi dan pembelian senjata masing-masing 32 triliun dan 90 triliun. Alokasi anggaran yang seperti itu sama halnya kita mengharapkan rendahnya output produksi, derasnya impor, alih fungsi lahan, berkurangnya profesi petani/peternak, dan terpenting mengundang investasi swasta, nasional maupun asing untuk membantu menggairahkan sektor pertanian maupun peternakan.
Kedua, sempitnya lahan dan terjadinya alih fungsi lahan (konversi lahan) untuk pembangunan Infrastruktur, industri dan perumahan. Dengan mengeluarkan PP No 39 tahun 2014 tentang bidang Usaha terbuka dan tertutup dengan syarat penanaman modal, dalam rangka AEC (Asean Economic Community), pemerintah pun yang mempeloporinya. Praktis hal tersebut membuat investor menguasai sebagian besar lahan petani/peternak dan menggeser usaha kecil mereka. Berdasar data BPS perusahaan pangan telah mencapai 5.486 di tahun 2013, yang mana pada tahun 2003 masih berjumlah 4.011 perusahaan. Imbasnya Selama sepuluh tahun terakhir jumlah profesi petani/peternak berkurang hingga mencapai angka 5,04 juta keluarga.
Maka pertanyaannya, apakah dengan berkurangnya petani/peternak dan bertambahnya perusahaan pangan, dapat menggairahkan produksi domestik dan memberikan kontribusi besar bagi ketahanan pangan nasional?, Khususnya kebutuhan akan protein hewani (daging dan susu). Sesungguhnya fakta diatas telah menjawab itu.
Ketiga, Ikut andilnya pemerintah dalam kesepakatan GATT (General Agreement on Traffis and TradeI) yang dilaksanakan berdasarkan skema WTO (World Trade Organization) terbukti menimbulkan kontraversial di kalangan petani/peternak. Karena perjanjian tersebut semakin membuka peluang daging-daging impor untuk menginvasi produksi peternak lokal. UU No 18 tahun 2009 pasal 44 ayat 3, pasal 59 ayat 2, 4 dan pasal 68 ayat 4 yang jadi pelaku dan kini telah direvisi. Poin diatas seolah menampar kita agar menyelesaikan masalah seputar sistem tatakelola sektor pertanian nasional, bukan terlalu fokus pada teknis pemeliharaan sapi atau teknologi.
Maka, stimulus sektor pertanian/peternakan (artinya subsidi gila-gilaan) sangat dibutuhkan agar mampu menggenjot produksi domestik dan bersaing di AEC 2015 ini. Pemerintah harus memiliki strategi jitu untuk menambah jumlah profesi, pembukaan lahan ternak (pakan), mampu bersaing dengan produk luar negeri, dan dapat mengekspor komoditi peternakan yang memiliki nilai tambah (bukan hanya bahan mentah).
Untuk itu dibutuhkan perubahan struktural secara mendasar terkait sistem tatakelola sektor pertanian/peternakan dari hulu-hilir (dari produksi hingga distribusi dan penentuan harga), termasuk pemberian bibit sapi, subsidi pakan, pembukaan lahan pakan, dll. Dari sisi pasar mengurangi kuota impor, penetapan harga yang proporsi agar tak merugikan peternak kecil (mandiri), memberi batas yang jelas tentang barang dan jasa apa yang patut dan tidaknya untuk dikomersialisasi. Hingga akhirnya cita-cita membangun pangan yang mandiri terwujud, dan termanifestasi dalam swasembada pangan masa akan datang.

Penulis,
|Busrah Hisam Ardans|
Jurusan Ilmu Peternakan 2011

Senin, 26 Januari 2015

Bisik Merdu dari kami



Written by Harna


Hidup sehat itu susah
Menerapkan gizi seimbang itu susah.
Bagaimana caranya hidup sehat, jika hari ini kami masih saja tidur beralaskan kardus.
Bagaimana caranya  gizi seimbang kami terapkan,  jika membeli beras pun susah.
Bagaimana caranya kami tak lepas dari masalah gizi jika lingkungan rumah kami dekat jembatan.
Kami hanya manusia tak berdaya, hidup dibelantara hutan  yang tak menemukan puing-puing kehidupan.

Kami hanyalah rakyat jelata yang hanya mampu makan hasil dari mengais tempat sampah.
Rasa-rasanya, hidup sehat hanyalah menjadi mimpi kami disetiap malam.
Setiap hari kami harus bangun pagi, menyiapkan diri untuk mengais sampah.
Bahkan, anak-anak kami yang semestinya mengecap pendidikan harus ikut mengais sampah.
Hingga anak-anak kami pun harus menderita kurang gizi
Dan kami tidak tahu harus berbuat apa.

Tidakkah kalian mendengar jiwa kami yang selalu merintih
Merintih bukan karena tidak bersyukur
tapi karena harus mendengar  tangis sakit dari anak-anak kami.
Bukankah, Jiwa yang lapang tak lepas dari kata syukur
Makanya, sampai hari ini kami tak lepas dari kata syukur karena masih bisa bernafas.
Setidaknya, bernafas untuk bertahan hidup demi anak-anak kami yang terbaring.

Ini adalah bisik merdu dari kami..
Suara yang semoga terdengar oleh kalian
Sekiranya, memikirkan kami dalam doa jika materi kalian tak mampu.
Memikirkan nasib anak-anak kami, yang setiap tahun selalu menyumbang suara dalam masalah gizi.
Bukankah ini miris..
Terkadang, jika kami tak sengaja lihat di televisi tentang berita koruptor dimana-mana
Hati kami sedih dan kadangkala lisan ini menyumpahi kalian (koruptor) dengan kata yang sangat kasar.
Jujur, kami sedih tak terbendung