Rabu, 28 Januari 2015

Kisruh dan Cita-Cita Swasembada Pangan (Hewani)

by Busrah_KOPIPAGI


Dunia telah mengenal Indonesia sebagai negara agraris. Bukan hanya karena sebagian besar penduduk pribumi Indonesia bekerja sebagai petani, tetapi sejak tahun 1984 kita diberi anugrah oleh Yang Maha Kuasa dan merupakan hasil kerja keras dari petani-petani Indonesia. Dengan berhasil Swasembada pangan dengan angka 25,8 juta ton. Tepat pada tanggal 14 November 1985 Presiden Soeharto menerima penghargaan dari Badan Pangan dan Pertanian dunia (FAO), berupa medali emas dan berhak berbicara di hadapan 165 negara yang hadir dalam konferensi di Roma (Italia) waktu itu.
Suatu kebanggaan dan capaian luar biasa dalam sektor petanian. Namun itulah dulu, kadang memang manusia cenderung merindukan masa lalunya. Berbeda dengan kini. Sektor pertanian yang terdiri dari beberapa sub sektor yakni padi, palawija, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan dalam perjalanannya akhir-akhir ini terseok-seok. Mengapa saya katakan terseok-seok? Data dari BPS mengemukakan aksi impor pangan dari tahun 2003-2013 kemarin melonjak empat kali lipat. Dari jumlah impor tahun 2003 sebesar USD 3,34 miliar menjadi USD 4,19 miliar. Jumlah keluarga tani terus berkurang, sampai tahun 2013 keluarga tani tercatat berjumlah 26,13 juta, berkurang 5,04 juta dari 31,17 juta keluarga di tahun 2003. Artinya selama tiap tahun rata-rata terjadi penyusutan sebesar 500.00 kelurga tani, termasuk juga keluarga peternak. Dan akhir tahun 2014 kemarin lagi-lagi beras, daging, kedelai, gula, jagung menjadi lagu wajib, impor. Capaian makro pertanian pun terus menurun, penyerapan tenaga kerja menurun 0,78% dari tahun sebelumnya, juga tak absen nilai tukar petani pun turun 2,18% di banding tahun 2013.
Berbicara pangan, Salah satu sektor yang sangat berpengaruh dalam kebutuhan akan protein ialah sektor peternakan. Dari data BPS, Sub sektor peternakan sendiri di tahun 2014 kemarin menyumbang sekitar 590.000 ton untuk kebutuhan daging dalam negeri, dengan konsumsi daging rakyat Indonesia 2,36 kg/kapita/tahun. Diprediksi tahun depan meningkat 8,5% atau sekitar 640.000 ton. Juga susu yang selama sepuluh tahun terakhir kebutuhan dalam negeri, 60%nya dari impor.
Direktur Eksekutif Apfindo, Joni Liano mengatakan realisasi kebutuhan dalam negeri tahun 2014 telah mengeksekusi 3,1 juta populasi sapi. Namun belum semua sapi yang diperoleh, dari produksi lokal. Ada 2,3 juta sapi di tahun 2014 ini berasal dari produksi dalam negeri, dan sisanya ditutupi dengan Impor.
Tentu kita juga mengingat  “Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau dan Peningkatan Penyediaan Pangan Hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal”  (PSDSK) yang berlangsung di tahun 2014 ini. Dengan Outcome yang diharapkan; Meningkatnya ketersediaan pangan hewani (daging, telur, susu), meningkatnya kontribusi dari ternak lokal dalam penyediaan pangan hewani tersebut, meningkatnya ketersediaan protein hewani asal ternak, dan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak.    
Namun dipahami bersama program ini hanya tinggal kenangan, kenangan yang berlalu, seperti berlalunya manusia tak berilmu. Tiga kali berturut-turut 2001-2005, 2008-2010, hingga 2010-2014 terbukti tak berbuah hasil. Ujung-ujungnya buka keran Impor untuk mencukupi kebutuhan domestik. Walaupun lima tahun terakhir Impor Indonesia berkurang, hal tersebut sudah menjadi kegandrungan, maka untuk memenuhi kuota awal tahun 2015 ini pemerintah siap menerbitkan izin impor sapi sebanyak 246.000 ekor dari Australia.
 Sebab-sebab kegagalan swasembada daging sapi nasional harus lebih dilihat dalam kaca mata konstruksi kebijakan pemerintah secara luas, yang berarti terkait dengan tata kelola sektor pertanian/peternakan dalam skema pembangunan nasional.
Pertama, Secara sederhana kita bisa melihat perbandingan alokasi anggaran untuk sektor pertanian. Pembentukan modal di sektor pertanian dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi dan cenderung tak sesuai kebutuhan. Hal tersebut berdampak pada beberapa sektor yang menaunginya. Termasuk sektor peternakan, tercatat alokasi APBN untuk sektor pertanian. Di tahun 2010 Rp 8,0 triliun, 2011 Rp 16,0 triliun, 2012 Rp 18,2 triliun, 2013 Rp 17,8 triliun, 2014 Rp 15,5 triliun. Sedangkan untuk belanja birokrasi dan pembelian senjata masing-masing 32 triliun dan 90 triliun. Alokasi anggaran yang seperti itu sama halnya kita mengharapkan rendahnya output produksi, derasnya impor, alih fungsi lahan, berkurangnya profesi petani/peternak, dan terpenting mengundang investasi swasta, nasional maupun asing untuk membantu menggairahkan sektor pertanian maupun peternakan.
Kedua, sempitnya lahan dan terjadinya alih fungsi lahan (konversi lahan) untuk pembangunan Infrastruktur, industri dan perumahan. Dengan mengeluarkan PP No 39 tahun 2014 tentang bidang Usaha terbuka dan tertutup dengan syarat penanaman modal, dalam rangka AEC (Asean Economic Community), pemerintah pun yang mempeloporinya. Praktis hal tersebut membuat investor menguasai sebagian besar lahan petani/peternak dan menggeser usaha kecil mereka. Berdasar data BPS perusahaan pangan telah mencapai 5.486 di tahun 2013, yang mana pada tahun 2003 masih berjumlah 4.011 perusahaan. Imbasnya Selama sepuluh tahun terakhir jumlah profesi petani/peternak berkurang hingga mencapai angka 5,04 juta keluarga.
Maka pertanyaannya, apakah dengan berkurangnya petani/peternak dan bertambahnya perusahaan pangan, dapat menggairahkan produksi domestik dan memberikan kontribusi besar bagi ketahanan pangan nasional?, Khususnya kebutuhan akan protein hewani (daging dan susu). Sesungguhnya fakta diatas telah menjawab itu.
Ketiga, Ikut andilnya pemerintah dalam kesepakatan GATT (General Agreement on Traffis and TradeI) yang dilaksanakan berdasarkan skema WTO (World Trade Organization) terbukti menimbulkan kontraversial di kalangan petani/peternak. Karena perjanjian tersebut semakin membuka peluang daging-daging impor untuk menginvasi produksi peternak lokal. UU No 18 tahun 2009 pasal 44 ayat 3, pasal 59 ayat 2, 4 dan pasal 68 ayat 4 yang jadi pelaku dan kini telah direvisi. Poin diatas seolah menampar kita agar menyelesaikan masalah seputar sistem tatakelola sektor pertanian nasional, bukan terlalu fokus pada teknis pemeliharaan sapi atau teknologi.
Maka, stimulus sektor pertanian/peternakan (artinya subsidi gila-gilaan) sangat dibutuhkan agar mampu menggenjot produksi domestik dan bersaing di AEC 2015 ini. Pemerintah harus memiliki strategi jitu untuk menambah jumlah profesi, pembukaan lahan ternak (pakan), mampu bersaing dengan produk luar negeri, dan dapat mengekspor komoditi peternakan yang memiliki nilai tambah (bukan hanya bahan mentah).
Untuk itu dibutuhkan perubahan struktural secara mendasar terkait sistem tatakelola sektor pertanian/peternakan dari hulu-hilir (dari produksi hingga distribusi dan penentuan harga), termasuk pemberian bibit sapi, subsidi pakan, pembukaan lahan pakan, dll. Dari sisi pasar mengurangi kuota impor, penetapan harga yang proporsi agar tak merugikan peternak kecil (mandiri), memberi batas yang jelas tentang barang dan jasa apa yang patut dan tidaknya untuk dikomersialisasi. Hingga akhirnya cita-cita membangun pangan yang mandiri terwujud, dan termanifestasi dalam swasembada pangan masa akan datang.

Penulis,
|Busrah Hisam Ardans|
Jurusan Ilmu Peternakan 2011

Senin, 26 Januari 2015

Bisik Merdu dari kami



Written by Harna


Hidup sehat itu susah
Menerapkan gizi seimbang itu susah.
Bagaimana caranya hidup sehat, jika hari ini kami masih saja tidur beralaskan kardus.
Bagaimana caranya  gizi seimbang kami terapkan,  jika membeli beras pun susah.
Bagaimana caranya kami tak lepas dari masalah gizi jika lingkungan rumah kami dekat jembatan.
Kami hanya manusia tak berdaya, hidup dibelantara hutan  yang tak menemukan puing-puing kehidupan.

Kami hanyalah rakyat jelata yang hanya mampu makan hasil dari mengais tempat sampah.
Rasa-rasanya, hidup sehat hanyalah menjadi mimpi kami disetiap malam.
Setiap hari kami harus bangun pagi, menyiapkan diri untuk mengais sampah.
Bahkan, anak-anak kami yang semestinya mengecap pendidikan harus ikut mengais sampah.
Hingga anak-anak kami pun harus menderita kurang gizi
Dan kami tidak tahu harus berbuat apa.

Tidakkah kalian mendengar jiwa kami yang selalu merintih
Merintih bukan karena tidak bersyukur
tapi karena harus mendengar  tangis sakit dari anak-anak kami.
Bukankah, Jiwa yang lapang tak lepas dari kata syukur
Makanya, sampai hari ini kami tak lepas dari kata syukur karena masih bisa bernafas.
Setidaknya, bernafas untuk bertahan hidup demi anak-anak kami yang terbaring.

Ini adalah bisik merdu dari kami..
Suara yang semoga terdengar oleh kalian
Sekiranya, memikirkan kami dalam doa jika materi kalian tak mampu.
Memikirkan nasib anak-anak kami, yang setiap tahun selalu menyumbang suara dalam masalah gizi.
Bukankah ini miris..
Terkadang, jika kami tak sengaja lihat di televisi tentang berita koruptor dimana-mana
Hati kami sedih dan kadangkala lisan ini menyumpahi kalian (koruptor) dengan kata yang sangat kasar.
Jujur, kami sedih tak terbendung

How We Care..


Written by: Harna

Kesuksesan adalah pencapaian yang terukur, memiliki makna dan usaha masing-masing. Menciptakan semangat ataupun mengembalikan semangat tidaklah mudah, terlebih jika kita pernah gagal.  Kesuksesan terbesar dalam hidup terletak pada seberapa besarnya manfaat yang dapat kita berikan untuk orang lain. Sebagai pemuda yang notabene sebagai penerus bangsa, seharusnya memiliki kontribusi nyata untuk bangsa Indonesia. Menuangkan karya dan pengabdian untuk bangsa, tentunya tidak hanya dinikmati oleh satu atau dua orang tetapi untuk kesejahteraan banyak orang.
Berangkat dari kepedulian kepada sesama dan melihat fenomena di masyarakat bahwa masih banyak masyarakat miskin yang hidupnya terluntah-luntah, tak memperoleh perhatian hingga masyarakat yang mengalami malnourished. Sehingga berdirilah komunitas Pemuda Pangan dan Gizi (Kopi Pagi) yang ingin berkontribusi terhadap masalah yang terjadi di masyarakat terutama masalah pangan dan gizi.
Mengapa komunitas ini berkiprah terhadap masalah pangan dan gizi?
Kita ketahui bersama, bahwa masalah gizi bukanlah masalah sepeleh yang kemudian tidak memerlukan perhatian khusus. Justru, masalah gizi merupakan masalah nasional yang disertai dengan krisis pangan. Berawal dari visi dan misi para pemuda yang memiliki latar belakang pangan dan gizi sehingga dibentuklah komunitas ini. Tak hanya itu, besar harapan komunitas ini bisa membantu pemerintah dalam menjalankan program-program pangan dan gizi.

Minggu, 25 Januari 2015

Hari Gizi Nasional



Written by: Harna

Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55 tahun 2015 merupakan momentum berharga untuk melakukan perubahan atau gebrakan-gebrakan yang mampu mengubah kehidupan masyarakat, bersama membangun kesadaran akan pentingnya menerapkan gizi seimbang dalam kehidupan sehari-hari. Begitu banyak masayarakat kita yang mengalami kekurangan gizi, hingga di pelosok negeri masih ditemukan keluarga yang tidak terjamah sama sekali dengan program pemerintah.  
Almarhum Prof. Poorwo Soedarmo, Bapak Gizi Indonesia, telah meninggalkan sejarah dan memperkenalkan kita dengan ‘Gizi’ hingga sekarang.  Ilmu Gizi  di Indonesia dirintis sejak tahun 1950. Harapan beliau untuk Indonesia yaitu masalah gizi tidak lagi menjadi masalah Nasional di Indonesia.
Akan tetapi kenyataan hari ini bahwa masalah gizi kian menjadi masalah nasional yang semakin hari menggerogoti bangsa Indonesia. Indonesia sedang mengalami isu double burden atau isu kelebihan gizi dan kekurangan gizi, dimana kita sebagai penerus bangsa yang berkiprah di masyarakat menjadi tugas kita untuk menuntaskan double burden 
Tanggal 25 Januari 2015 diperingati sebagai hari gizi nasional dengan harapan  setiap tahun terjadi penurunan prevalensi masalah gizi di Indonesia. Hal ini tentunya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau stakeholder terkait namun menjadi tanggung jawab kita masing-masing. Oleh karena itu, perlunya  upaya promotif dan preventif didukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif yang berkualitas untuk  mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Percepatan peningkatan status gizi perlu segera dilakukan karena sifat masalah gizi yang jelas terlihat  masih cukup berat.  Sudah teridentifikasi provinsi yang memerlukan upaya khusus. Upaya perbaikan ekonomi, perubahan perilaku penduduk memerlukan upaya yang terkoordinasi dan terintegrasi secara baik.  Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Lalu, pertanyaan yang selalu saja menggeliat dalam pikiran masyarakat yaitu mengapa bangsa Indonesia masih bergelut dengan masalah gizi?

by Harna