Kementrian Pertanian RI pada tahun berjalan
2015 ini telah menerbitkan laporan impor komoditas. Salah satunya ialah
komoditas beras. Pada periode Januari-September 2015, Kementan telah mencatat
sekiranya ada sepuluh negara yang sudah melakukan ekspor beras ke Indonesia,
diantaranya China, Thailand, Jepang, Malaysia, Philipina, Singapura, Vietnam,
Myanmar, India, dan Pakistan yang terdiri atas beberapa peruntukkan. Dengan
estimasi Januari-September, beras yang diimpor sudah mencapai volume 224 milyar
(Kg) dengan nilai 105 juta US Dolar. Vietnam dan Thailand menjadi negara yang
melakukan ekspor ke Indonesia dengan jumlah cukup besar.
Awal November kemarin pemerintah telah
mencanangkan untuk kembali melakukan impor dengan jumlah 1,5 juta ton beras
dari negara asal Vietnam. Pertanggal 12 November jumlah beras impor yang telah
masuk mencapai 27 ribu ton. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan impor beras
dilakukan untuk memberikan kecukupan kebutuhan beras nasional akibat dari faktor
cuaca (el nino) yang menggangu produksi beras. Sehingga menurutnya tidak jadi
masalah, demi kecukupan beras rakyat. Walaupun belum sepenuhnya diketahui
apakah terjadi defisit, selain data BPS yang menurutnya tidak bisa
dipertanggungjawabkan.
Tetapi kemudian pandangan tersebut berlawanan
dengan beberapa sumber data yang terbilang pada tahun 2015 ini Indonesia
mengalami surplus produksi beras nasional. Seperti yang disampaikan Kementrian
Pertanian oleh Mentan Amran Sulaiman bahwa tahun 2015, terjadi surplus beras
yang menempati angka sepuluh juta ton. Hal tersebut dikemukakan berdasar pada
perhitungan angka ramalan (ARAM) 1 dan ARAM 2 BPS yang mana tidak jauh berbeda,
bahwa produksi beras mencapai 75.551 juta ton GKG (Gabah Kering Giling) atau
setara dengan 43.940 juta ton beras, meningkat 4.704 juta ton (6,64 persen)
dari produksi tahun lalu sejumlah 70.846 juta ton GKG.
Surplus tersebut tidak juga terlepas dari
perhitungan total konsumsi beras masyarakat Indonesia yang berkisar 31 juta ton
beras dengan rata-rata konsumsi 114/kg. Disamping faktor alam, fakta di
lapangan memang menunjukkan adanya el
nino dengan angka indeks 1,8 derajat celcius dan termasuk dalam
kategori moderat yang menyebabkan sawah-sawah tadah hujan tidak bisa ditanami,
tetapi sawah-sawah irigasi memperoleh panen yang baik dan berdasarkan
pengamatan dari Serikat Petani Indonesia (SPI) bulan Desember hingga Februari
mendatang tren panen petani menjadi baik serta harga beras yang belum
menunjukkan ‘lonjakan’ yang begitu berarti. Data inilah secara langsung
mempertegas sikap Presiden Joko Widodo untuk tidak melakukan Impor beras,
beberapa waktu lalu.
Namun fakta yang terjadi berbeda. Sikap yang
diambil diantara para eksekutif menunjukkan tidak adanya transparansi dan
konektivitas yang baik. Hal serupa sebelumnya juga terjadi pada akhir tahun
2013. Keputusan Kementrian Perdagangan akan melakukan impor, berbeda dengan
Kementrian Pertanian yang memutuskan untuk tidak impor yang akhirnya tidak
terjadi impor. Bahkan impor beras asal Vietnam November ini terindikasi ilegal
berdasarkan UU Pangan pasal 38 “perihal penentuan impor dan tidaknya oleh
Kementrian Pertanian yang langsung di bawah mandat Presiden RI”.
Dalam dinamika perkembangannya kebijakan impor
beras sejak tahun 2008 hingga kini, dalam data BPS dan Kementrian Pertanian
selalu mengatakan Indonesia dalam keadaan surplus. Dengan menggunakan estimasi
data yang sama-sama fragile, tahun
2014 surplus 8,8 juta ton, 2013 9,5 juta dan seterusnya ke belakang. Dari
beberapa tahun hingga tahun ini menunjukkan adanya surplus produksi. Lha… kalau surplus mengapa impor? Sehingga
jika itu benar-benar ada, bisa digunakan Bulog sebagai stok pada tahun berjalan
(carry-over stock) yang sungguh
besar. Namun, apalah daya overestimate
yang sulit diverifikasi. Dengan alasan menjaga pasokan dalam negeri dan
tingkat akurasi data yang masih diragukan, Bulog mengajukan Impor beras hingga
kini.
Tentu ada yang keliru. Dampak dari buruknya
akurasi data pastinya merambah kepada kredibilitas kebijakan, tak hanya itu, petani
dan masyarakat secara umum akan merasakannya. Maka sebagai perwujudan sektor
pertanian sebagai salah satu pilar pembangunan nasional, sangat penting untuk
kalibrasi dan rekalibrasi data produksi dan konsumsi serta menjaga tingkat
akurasinya. Asimetri tentang informasi harga gabah petani yang masih relatif
“murah” sebesar Rp4.100/kg walau lebih mahal dari harga referensi pemerintah
sebesar Rp3.700/kg, sementara harga beras premium tertanggal 25 September
kemarin menunjukkan tingkat harga yang cukup mahal dibanding dengan harga beras
internasional seperti beras asal Thailand dan Vietnam, dengan kualitas yang
sama. Asimetri harga ini perlu mendapat perhatian Bulog untuk turun hingga ke
‘pematang sawah’ dalam pengadaan gabah petani, jangan kalah sama para tengkulak.
Sehingga stabilitas harga tercipta.
Kebijakan impor tahun ini membuktikan sikap
inkonsistensi dan pertaruhan kredibilitas pemerintahan walaupun anggaran
Kementan ditambah dua kali lipat tahun 2015, (Rp32,7 T) dengan rancangan
pembangunan infrastruktur; irigasi tersier, pembantuan benih pupuk, membuka
lahan baru dan agenda revitalisasi lainnya. Dan perlu dipahami bahwa kebijakan
impor merupakan kebijakan terakhir bukan sebagai rutinitas. Jikalau semua itu
sudah dilakukan dan masih saja impor berarti yang kita lawan adalah mafia, yang
sesungguhnya tak terlepas dari diserahkannya pemenuhan kebutuhan pangan pada sistem
pangan global atas orientasi keuntungan adalah ‘tuhan’.