Sabtu, 03 Oktober 2015

Hari Tani, Hari Kurban, dan Cita-cita Swasembada Daging Sapi


Keputusan Presiden RI No. 169/1963 tertanggal 26 Agustus 1963 menetapkan Hari Tani Indonesia jatuh pada tanggal 24 September. Penetapan Hari Tani tersebut tidak lain karena kepentingan untuk memajukan kesejahteraan rakyat pedesaan yang esensi utamanya adalah diundangkannya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria). Ditetapkannnya tanggal 24 September sebagai Hari Tani Indonesia oleh Presiden waktu itu, dengan semangat revolusionernya menyebutkan bahwa tanggal 24 September sebagai hari lahirnya UUPA dan merupakan kemenangan Rakyat Tani Indonesia. Diletakkannya dasar-dasar penyelenggaraan land reform untuk mengikis habis sisa-sisa imprealisme dalam lapangan pertanahan dan membebasakan rakyat tani dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan beralatkan tanah sehingga dapat melapangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur.

Pada mulanya konsep dasar pengembangan masyarakat dan pedesaan sesungguhnya merupakan konsep pembangunan yang sangat lama yang diadopsi setelah beberapa tahun merdeka. Lalu menyusul pencanangan program tersebut sebagai the global development program oleh PBB dalam mencari format pembangunan negara-negara yang lahir pasca perang dunia kedua. Hal ini dilakukan oleh PBB guna mengatasi keterbelakangan yang muncul akibat dari kolonialisme, imprealisme, dan perang dunia yang berkepanjangan.

Atas dasar keyakinan yang kuat dan melihat betapa pentingnya pedesaan sebagai sumber pangan, gerak langkah keagrariaan telah muncul sejak masa awal kemerdekaan ditandai dengan dibentuknya Panitia Agraria Jogjakarta-Panitia Agraria Djakarta-Rumusan rancangan Soenarjo dan disempurnakan dan disahkan sebagai UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No. 5 tahun 1960. Itulah dasar ditetapkannya Hari Tani dengan semangat memperjuangkan Hak-hak petani rakyat.

Pembangunan pertanian dalam lima tahun ke depan sebagai visi dan misi presiden, berlandaskan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ketiga (2015-2019) dimana, “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”, termasuk sektor pertanian yang meliputi beberapa sub sektor yakni Sub Sektor Tanaman Pangan, Sub Sektor Perkebunan, Sub Sektor Kehutanan, Sub Sektor Perikanan, dan Sub Sektor Peternakan.

Peternakan dalam hal ini meliputi komponen produksi termasuk ayam pedaging, sapi perah, ayam petelur, sapi potong, kerbau, itik, domba, kambing, dan ayam buras, memiliki prospek yang baik dan mampu menambah income perkapita petani/peternak. Seperti success story sektor pertanian terhadap beras yang mencapai swasembada tahun 1985, kelapa sawit selama 20-30 tahun terakhir Indonesia menjadi yang pertama di dunia, begitupun dengan swasembada daging ayam yang diraih 20 tahun lebih. Potensi peternakan semakin terlihat, berdasarkan data tahun 2010-2014 dimana Kementan merilis produksi hasil peternakan berupa daging, telur, dan susu mengalami pertumbuhan yang berarti. Masing-masing 5,98 dan 7,08 persen/tahun, dimana produksi daging mencapai 2,98 juta ditahun 2014 dengan kontribusi daging sapi tercatat 19,2 persen terhadap produksi daging nasional.

Berbicara tentang daging sapi tidak lepas dari program swasemabada daging sapi yang dicanangkan sejak 2005. Namun, hingga kini belum menemui kata berhasil. Tahun 2010 menjadi sejarah pelik. Saat itu program penurunan kuota impor sebesar 10 persen yang diharapkan, malah memberi kontribusi impor terbesar sebanyak 120 ribu daging beku dan 765 ribu ekor sapi bahkan Menpan era SBY, Suswono berkata swasembada kita gagal karena salah hitung. Awal bulan Agustus lalu menjadi kado buruk bagi Indonesia, empat hari pada bulan itu 8-11 Agustus pedagang di daerah Jawa memutuskan tidak menjual daging sapi dengan kata lain mereka meliburkan diri. Tentu kabar yang tidak mengenakan bagi negara yang sudah mencapai usia 70 tahun, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan daging nasional.

Waktu itu RPH (Penjagal) tidak melakukan pemotongan karena harga timbang hidup sapi yang mereka dapatkan dari feedloter sebagai salah satu pihak pengadaan, menetapkan harga yang kian meninggi dalam sepekan harga timbang hidup tersebut mencapai angka Rp4000 sedangkan untuk karkas menjadi Rp8000. Kenaikan harga timbul dari rasa kekecewaan para importir terhadap pemerintah yang menurunkan kuota impor dan menetapkan tahun ini sebesar 400 ribu ekor sapi impor sedangkan kebutuhan dalam negeri mencapai 750 ribu ekor sapi. Sementara konsumsi daerah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten mencapai 70 persen mau tidak mau pemerintah tetap akan membuka keran impor untuk pemenuhan daging sapi. Ketergantungan terhadap impor ini menandakan Indonesia belum berdaulat dalam menunjang ketahanan pangan asal daging sapi.

Pekerjaan rumah pemerintahan kini belum usai, petani/peternak sebagai aktor utama penghasil daging sapi lokal semakin hari semakin mengalami penyusutan profesi. Kepala BPS, Suryamin menuturkan, jumlah rumah tangga dengan usaha pertanian terus menurun akibat beberapa hal diantaranya alih profesi dan semakin sempitnya lahan pertanian karena alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan pabrik, dan perumahan. Adanya penyusutan jumlah petani yang sangat signifikan sebesar 16,23 % dalam satu dasawarsa, yakni 5,09 juta keluarga. Artinya setiap tahun terdapat penyusutan jumlah petani rata-rata sebesar 509 ribu keluarga yang pada kenyataannya sejak tahun 2003 jumlah rumah tangga petani yang bergerak disemua komoditas baik tanaman pangan, hotikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan berjumlah 31,23 juta berkurang secara signifikan menjadi 26,14 juta rumah tangga petani.  Secara nasional, populasi sapi kini berjumlah 12,5 juta dengan jumlah peternak lima juta orang. Jika diestimasikan masing-masing peternak memiliki 2-4 ekor sapi. Dalam artian angka 12 juta tersebut, pemerintah harus bisa melakukan antisipasi terhadap pemotongan ternak yang berlebihan karena menyangkut modal pemerintah membudidayakan peternakan rakyat dalam mencapai swasembada. Apalagi diketahui dalam penelitiaan yang dilakukan oleh Universitas Padjajaran di 20 RPH dengan sampel 10.000 lebih ekor sapi, (di daerah produsen ternak hingga ke konsumen, Jawa, Bali, NTB, NTT) menemukan pemotongan betina produktif mencapai 30 persen, bahkan di NTT tercatat hampir 80 persen.

Cita-cita swasembada daging sapi membutuhkan penantian panjang 20-30 tahun mendatang. Tidak hanya soal penantian, bisa jadi hanya retorika politik dan noktah hitam pemerintahan. Jadi, berbagai insentif pemerintah terhadap peternakan rakyat harus terus berjalan. Dua belas juta ekor sapi menjadi modal, gap yang timbul antara industri peternakan yang padat modal, teknologi, dan terpadu dengan peternakan rakyat harus diisi. Skala peternakan rakyat dan industri dalam kaca mata ekonomi harus jelas size dari keduanya. Peternakan rakyat harus tetap menjadi tulang punggung diberikan subsidi atau perangsang seperti penyediaan kredit dan sebagainya serta memaksimalisasi kinerjanya. 
Pemotongan betina produktif, ketimpangan dengan industri peternakan, menyusutnya profesi petani/peternak, sungguh sebagai cambukan untuk kita berbenah sebab ini menyangkut lima juta peternak. Jika sekarang kita masih mengonsumsi daging sapi itu karena peternak rakyat. Tanggal 24 September kemarin adalah Hari Tani Nasional sekaligus sebagai Hari Idul Adha (Kurban) yang masing-masing esensinya adalah perjuangan dan pengorbanan. Bila sejarah membuktikan bahwa pengorbanan Nabi Ibrahim beserta keluarganya sangatlah besar dalam mengahadapi ujian, begitupun dengan para petani/peternak. Walau berbeda kisah, mereka bisa dikatakan telah berjuang dan rela berkorban memberi makan 252.164.8 juta penduduk Indonesia. Maka sepantasnyalah momen ini menjadi kebangkitan para petani/peternak dalam mewujudkan swasembada daging sapi dan membawa Indonesia berdaulat atas pangan.


Busrah Hisam Ardans_Mahasiswa Fakultas Peternakan_Unhas_2011
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar