Jumat, 11 Desember 2015

Beras surplus, Mengapa Impor?

Kementrian Pertanian RI pada tahun berjalan 2015 ini telah menerbitkan laporan impor komoditas. Salah satunya ialah komoditas beras. Pada periode Januari-September 2015, Kementan telah mencatat sekiranya ada sepuluh negara yang sudah melakukan ekspor beras ke Indonesia, diantaranya China, Thailand, Jepang, Malaysia, Philipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, India, dan Pakistan yang terdiri atas beberapa peruntukkan. Dengan estimasi Januari-September, beras yang diimpor sudah mencapai volume 224 milyar (Kg) dengan nilai 105 juta US Dolar. Vietnam dan Thailand menjadi negara yang melakukan ekspor ke Indonesia dengan jumlah cukup besar.

Awal November kemarin pemerintah telah mencanangkan untuk kembali melakukan impor dengan jumlah 1,5 juta ton beras dari negara asal Vietnam. Pertanggal 12 November jumlah beras impor yang telah masuk mencapai 27 ribu ton. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan impor beras dilakukan untuk memberikan kecukupan kebutuhan beras nasional akibat dari faktor cuaca (el nino) yang menggangu produksi beras. Sehingga menurutnya tidak jadi masalah, demi kecukupan beras rakyat. Walaupun belum sepenuhnya diketahui apakah terjadi defisit, selain data BPS yang menurutnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Tetapi kemudian pandangan tersebut berlawanan dengan beberapa sumber data yang terbilang pada tahun 2015 ini Indonesia mengalami surplus produksi beras nasional. Seperti yang disampaikan Kementrian Pertanian oleh Mentan Amran Sulaiman bahwa tahun 2015, terjadi surplus beras yang menempati angka sepuluh juta ton. Hal tersebut dikemukakan berdasar pada perhitungan angka ramalan (ARAM) 1 dan ARAM 2 BPS yang mana tidak jauh berbeda, bahwa produksi beras mencapai 75.551 juta ton GKG (Gabah Kering Giling) atau setara dengan 43.940 juta ton beras, meningkat 4.704 juta ton (6,64 persen) dari produksi tahun lalu sejumlah 70.846 juta ton GKG.

Surplus tersebut tidak juga terlepas dari perhitungan total konsumsi beras masyarakat Indonesia yang berkisar 31 juta ton beras dengan rata-rata konsumsi 114/kg. Disamping faktor alam, fakta di lapangan memang menunjukkan adanya el nino  dengan angka indeks 1,8 derajat celcius dan termasuk dalam kategori moderat yang menyebabkan sawah-sawah tadah hujan tidak bisa ditanami, tetapi sawah-sawah irigasi memperoleh panen yang baik dan berdasarkan pengamatan dari Serikat Petani Indonesia (SPI) bulan Desember hingga Februari mendatang tren panen petani menjadi baik serta harga beras yang belum menunjukkan ‘lonjakan’ yang begitu berarti. Data inilah secara langsung mempertegas sikap Presiden Joko Widodo untuk tidak melakukan Impor beras, beberapa waktu lalu.

Namun fakta yang terjadi berbeda. Sikap yang diambil diantara para eksekutif menunjukkan tidak adanya transparansi dan konektivitas yang baik. Hal serupa sebelumnya juga terjadi pada akhir tahun 2013. Keputusan Kementrian Perdagangan akan melakukan impor, berbeda dengan Kementrian Pertanian yang memutuskan untuk tidak impor yang akhirnya tidak terjadi impor. Bahkan impor beras asal Vietnam November ini terindikasi ilegal berdasarkan UU Pangan pasal 38 “perihal penentuan impor dan tidaknya oleh Kementrian Pertanian yang langsung di bawah mandat Presiden RI”.

Dalam dinamika perkembangannya kebijakan impor beras sejak tahun 2008 hingga kini, dalam data BPS dan Kementrian Pertanian selalu mengatakan Indonesia dalam keadaan surplus. Dengan menggunakan estimasi data yang sama-sama fragile, tahun 2014 surplus 8,8 juta ton, 2013 9,5 juta dan seterusnya ke belakang. Dari beberapa tahun hingga tahun ini menunjukkan adanya surplus produksi.  Lha… kalau surplus mengapa impor? Sehingga jika itu benar-benar ada, bisa digunakan Bulog sebagai stok pada tahun berjalan (carry-over stock) yang sungguh besar. Namun, apalah daya overestimate yang sulit diverifikasi. Dengan alasan menjaga pasokan dalam  negeri dan tingkat akurasi data yang masih diragukan, Bulog mengajukan Impor beras hingga kini.

Tentu ada yang keliru. Dampak dari buruknya akurasi data pastinya merambah kepada kredibilitas kebijakan, tak hanya itu, petani dan masyarakat secara umum akan merasakannya. Maka sebagai perwujudan sektor pertanian sebagai salah satu pilar pembangunan nasional, sangat penting untuk kalibrasi dan rekalibrasi data produksi dan konsumsi serta menjaga tingkat akurasinya. Asimetri tentang informasi harga gabah petani yang masih relatif “murah” sebesar Rp4.100/kg walau lebih mahal dari harga referensi pemerintah sebesar Rp3.700/kg, sementara harga beras premium tertanggal 25 September kemarin menunjukkan tingkat harga yang cukup mahal dibanding dengan harga beras internasional seperti beras asal Thailand dan Vietnam, dengan kualitas yang sama. Asimetri harga ini perlu mendapat perhatian Bulog untuk turun hingga ke ‘pematang sawah’ dalam pengadaan gabah petani, jangan kalah sama para tengkulak. Sehingga stabilitas harga tercipta.

Kebijakan impor tahun ini membuktikan sikap inkonsistensi dan pertaruhan kredibilitas pemerintahan walaupun anggaran Kementan ditambah dua kali lipat tahun 2015, (Rp32,7 T) dengan rancangan pembangunan infrastruktur; irigasi tersier, pembantuan benih pupuk, membuka lahan baru dan agenda revitalisasi lainnya. Dan perlu dipahami bahwa kebijakan impor merupakan kebijakan terakhir bukan sebagai rutinitas. Jikalau semua itu sudah dilakukan dan masih saja impor berarti yang kita lawan adalah mafia, yang sesungguhnya tak terlepas dari diserahkannya pemenuhan kebutuhan pangan pada sistem pangan global atas orientasi keuntungan adalah ‘tuhan’.

Busrah Hisam Ardans